Senin, 01 September 2008
Penghuni Baru
Panas sekali hari ini. Kucoba menikmati anugrah cahaya-Nya. Tapi hatiku tetap tak mau setuju. Jalanan Jakarta begitu pandai memantulkan semburat matahari. Tak habis pikir aku ketika melintasinya. Bagaimana mungkin orang bisa bertahan berada di jalanan dengan keadaan seperti ini.
Kubawa tubuhku melintasi padatnya lalu lintas ibukota. Sampai akhirnya ku berada di dekat Masjid Cut Mutia.
“Fiuh...panasnya hari ini”,ucapku sambil mengusap dahi.
Ku beranjak ke tempat wudhu. Alhamdulillah,Maha Agung Allah dengan segala nikmat-Nya. Sejuk sekali ku rasakan air itu. Makin mantap keteguhanku untuk melanjutkan persuaanku dengan-Nya.
Ku dapati beberapa orang sholat berjamaah. Aku beranjak mengikutinya. Setelah mengucap salam,ku melihat beberapa orang membentuk lingkaran. Salah satu dari mereka,ya,ku kenal wajahnya. Al hafidz Bagus Nugroho,membacakan hadits Rasul yang tersusun rapi dalam kitab Riyadush Shalihin susunan Imam Nawawi.
Agak keras beliau membacanya,hingga ku mendengar salah satu sabda Rasul yang berbunyi “Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (pada hari kiamat) dari akhlak yang baik.” (HR. Abu Dawud)
Entah kenapa,ku merasa tertohok mendengarkan arahan Rasul yang satu ini. Ku terdiam,dalam sekejap fikirku terbang ke angan-angan. Mengingat lagi apa yang sudah kulakukan dalam menjaga akhlak. Semakin sesak di dada,kristal cair itu pun keluar dari kedua mataku. Perih,malu,merasa sangat berdosa.
“Ya Allah,apa yang sudah kulakukan !”,tanyaku dalam hati.
Jelas dalam ingatan betapa banyak teriakan,bentakan,serta sikap tak pantas yang muncul dariku. Pada ummi,abi,kakak,adik,serta sahabat-sahabatku. Orang-orang yang selalu menghadirkan doa untukku. Manusia mulia yang memberikan ruang di fikirannya pada keadaanku. Bodohnya aku jika terus menyakiti hati mereka. Sesal yang sangat mendalam menemaniku siang itu.
“Assalamualaikum warahmatullah ustadz !”,tiba-tiba ada suara lembut menyapaku ramah. Hai,ku kenal suara ini.
“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh” ,jawabku.
“Alhamdulillah,ketemu di tempat yang berkah ni....”,benar,dia saudaraku,Indra.
“Hei,barakallah,lama nggak ketemu kemana aja,jagoan?”.
“Biasa,banyak order ni. Gimana kabar ente?”,bertanya sembari menghadirkan senyum indahnya.
“Alhamdulillah,masih diberi nafas untuk beramal !”,kujawab sambil kujabat tangannya..
“Mau kemana nih,tumben banget ada di Jakarta?”,tanyanya lagi.
“Iya nih,abis silaturahmi ke rumah nenek di Kalipasir. Ente mau kemana?” ,balasku.
“Gue mau ke pasar senen,ummi nitip barang buat rumah !”,jawabnya mantap.
“Cie...elah,dah pake lu gue ni sekarang. Makin keren aja ni orang !”.
“Lah,ente kan tau ndiri ane nongkrongnya ma sapa,so harus nyesuain dong !” ,jawabnya.
Dialah saudara seiman,sekaligus inspiratorku. Muh.Indra Siregar. Bocah batak yang sangat menyenangkan. Ku cukup dibuat kagum olehnya. Kekayaan orang tuanya tak membuatnya terlena. Dia lebih memilih mandiri dan hidup sederhana ketimbang terus meminta pada ayah dan ibunya. Benar-benar iri ku dibuatnya. Dia pun menjalankan aktivitas yang agak berbeda dengan rekan-rekan seusianya. Mahasiswa psikologi di Univ.Taruna,Depok ini lebih memilih banyak bergaul dengan orang-orang jalanan daripada dengan teman-temannya di kampus. Bukan berarti dia terasing di sana. Dia memiliki peran penting yang penting,setidaknya menurut teman-teman yang mengatakan padaku. Indra hanya memilih peluang pahala yang lebih besar,ya...peluang itu dia lihat ada di jalanan Jakarta.
Beberapa “anak buah”nya sudah cukup berhasil meniti kehidupan dengan cermat. Ada yang sukses menjadi pedagang kelontong,supir angkot,buka bengkel,hingga mahasiswa. Luar biasa ! Ku selalu ingat kata-kata produktifnya,
“Akh,orang-orang jalanan itu punya potensi sukses yang sama besarnya dengan kita. Bukankah hak mereka adalah mengenal indahnya Islam? Dan bukankah kewajiban kita untuk menginformasikan Islam? Ingat wasiat Rasul menjelang wafat,agar kita memperhatikan orang-orang miskin? Allah pun mengingatkan pada kita,’ Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.’ (Al Maa`uun 1-3). Jadi kenapa harus semua orang harus ada di kampus kalo memang di luar sana ada yang sama-sama membutuhkan informan kaya kita?”
Setelah menikmati sate padang di depan Cut Mutia,kami pun bergegas untuk melanjutkan perjalanan kami masing-masing.
“Abis dari senen,ente mau kemana ?”,tanyaku.
“Ane mau langsung pulang,dah ditungguin ummi dari tadi ! ”,ungkapnya.
“Kalo gitu salam hormat dah ma abi-ummi ya!”
“Insya Allah. Ente tu kalo lagi ke Jakarta main dong ke rumah,jangan........Inalilah.....!!!”,seketika Indra menghentikan ucapan.
Indra berlari ke tengah jalan. Ku tak menyadari apa yang sedang terjadi. Sampai.....kulihat ada seorang bocah TK yang menyeberang. Dan.........
“Cciiiiitttttt............bruk......trang...cess..........”,suara sebuah truk menyambar tubuh saudaraku.
Indra berusaha menyelamatkan anak itu dari truk yang melintas. Tubuhnya berguling-guling. Bercampur dengan tanah dan debu. Sepintas kulihat tubuh kekarnya mendekap kuat bocah itu.
Ku berlari mendekatinya. Jantungku mengisyaratkan sebuah ketakutan hebat. Degupnya kencang,semakin kencang ketika jarakku dengan Indra semakin dekat.
Kekhawatiranku beralasan. Darah segar banyak mengalir dari tubuh Indra. Dalam sekejap ku berlutut mendekap Indra. Baju putihku seketika berubah seperti kain bendera Indonesia,merah darah dihiasi putih yang suci.
“Allah.....ku mohon pertolongan-Mu pada Indraku...!”,ucapku lirih.
Matanya menatapku. Sejuk sekali. Sudah lima hari Indra terbaring di RS.Ibnu Sina. Ku ucap tahmid atas berkah-Nya pada Indra. Meski dihalangi sebuah kaca tebal,tetap saja senyuman Indra membuat bertambah indah wajahnya. Tapi...ku tak tahu apa reaksinya ketika tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Kubawa tubuhku melintasi padatnya lalu lintas ibukota. Sampai akhirnya ku berada di dekat Masjid Cut Mutia.
“Fiuh...panasnya hari ini”,ucapku sambil mengusap dahi.
Ku beranjak ke tempat wudhu. Alhamdulillah,Maha Agung Allah dengan segala nikmat-Nya. Sejuk sekali ku rasakan air itu. Makin mantap keteguhanku untuk melanjutkan persuaanku dengan-Nya.
Ku dapati beberapa orang sholat berjamaah. Aku beranjak mengikutinya. Setelah mengucap salam,ku melihat beberapa orang membentuk lingkaran. Salah satu dari mereka,ya,ku kenal wajahnya. Al hafidz Bagus Nugroho,membacakan hadits Rasul yang tersusun rapi dalam kitab Riyadush Shalihin susunan Imam Nawawi.
Agak keras beliau membacanya,hingga ku mendengar salah satu sabda Rasul yang berbunyi “Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (pada hari kiamat) dari akhlak yang baik.” (HR. Abu Dawud)
Entah kenapa,ku merasa tertohok mendengarkan arahan Rasul yang satu ini. Ku terdiam,dalam sekejap fikirku terbang ke angan-angan. Mengingat lagi apa yang sudah kulakukan dalam menjaga akhlak. Semakin sesak di dada,kristal cair itu pun keluar dari kedua mataku. Perih,malu,merasa sangat berdosa.
“Ya Allah,apa yang sudah kulakukan !”,tanyaku dalam hati.
Jelas dalam ingatan betapa banyak teriakan,bentakan,serta sikap tak pantas yang muncul dariku. Pada ummi,abi,kakak,adik,serta sahabat-sahabatku. Orang-orang yang selalu menghadirkan doa untukku. Manusia mulia yang memberikan ruang di fikirannya pada keadaanku. Bodohnya aku jika terus menyakiti hati mereka. Sesal yang sangat mendalam menemaniku siang itu.
“Assalamualaikum warahmatullah ustadz !”,tiba-tiba ada suara lembut menyapaku ramah. Hai,ku kenal suara ini.
“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh” ,jawabku.
“Alhamdulillah,ketemu di tempat yang berkah ni....”,benar,dia saudaraku,Indra.
“Hei,barakallah,lama nggak ketemu kemana aja,jagoan?”.
“Biasa,banyak order ni. Gimana kabar ente?”,bertanya sembari menghadirkan senyum indahnya.
“Alhamdulillah,masih diberi nafas untuk beramal !”,kujawab sambil kujabat tangannya..
“Mau kemana nih,tumben banget ada di Jakarta?”,tanyanya lagi.
“Iya nih,abis silaturahmi ke rumah nenek di Kalipasir. Ente mau kemana?” ,balasku.
“Gue mau ke pasar senen,ummi nitip barang buat rumah !”,jawabnya mantap.
“Cie...elah,dah pake lu gue ni sekarang. Makin keren aja ni orang !”.
“Lah,ente kan tau ndiri ane nongkrongnya ma sapa,so harus nyesuain dong !” ,jawabnya.
Dialah saudara seiman,sekaligus inspiratorku. Muh.Indra Siregar. Bocah batak yang sangat menyenangkan. Ku cukup dibuat kagum olehnya. Kekayaan orang tuanya tak membuatnya terlena. Dia lebih memilih mandiri dan hidup sederhana ketimbang terus meminta pada ayah dan ibunya. Benar-benar iri ku dibuatnya. Dia pun menjalankan aktivitas yang agak berbeda dengan rekan-rekan seusianya. Mahasiswa psikologi di Univ.Taruna,Depok ini lebih memilih banyak bergaul dengan orang-orang jalanan daripada dengan teman-temannya di kampus. Bukan berarti dia terasing di sana. Dia memiliki peran penting yang penting,setidaknya menurut teman-teman yang mengatakan padaku. Indra hanya memilih peluang pahala yang lebih besar,ya...peluang itu dia lihat ada di jalanan Jakarta.
Beberapa “anak buah”nya sudah cukup berhasil meniti kehidupan dengan cermat. Ada yang sukses menjadi pedagang kelontong,supir angkot,buka bengkel,hingga mahasiswa. Luar biasa ! Ku selalu ingat kata-kata produktifnya,
“Akh,orang-orang jalanan itu punya potensi sukses yang sama besarnya dengan kita. Bukankah hak mereka adalah mengenal indahnya Islam? Dan bukankah kewajiban kita untuk menginformasikan Islam? Ingat wasiat Rasul menjelang wafat,agar kita memperhatikan orang-orang miskin? Allah pun mengingatkan pada kita,’ Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.’ (Al Maa`uun 1-3). Jadi kenapa harus semua orang harus ada di kampus kalo memang di luar sana ada yang sama-sama membutuhkan informan kaya kita?”
Setelah menikmati sate padang di depan Cut Mutia,kami pun bergegas untuk melanjutkan perjalanan kami masing-masing.
“Abis dari senen,ente mau kemana ?”,tanyaku.
“Ane mau langsung pulang,dah ditungguin ummi dari tadi ! ”,ungkapnya.
“Kalo gitu salam hormat dah ma abi-ummi ya!”
“Insya Allah. Ente tu kalo lagi ke Jakarta main dong ke rumah,jangan........Inalilah.....!!!”,seketika Indra menghentikan ucapan.
Indra berlari ke tengah jalan. Ku tak menyadari apa yang sedang terjadi. Sampai.....kulihat ada seorang bocah TK yang menyeberang. Dan.........
“Cciiiiitttttt............bruk......trang...cess..........”,suara sebuah truk menyambar tubuh saudaraku.
Indra berusaha menyelamatkan anak itu dari truk yang melintas. Tubuhnya berguling-guling. Bercampur dengan tanah dan debu. Sepintas kulihat tubuh kekarnya mendekap kuat bocah itu.
Ku berlari mendekatinya. Jantungku mengisyaratkan sebuah ketakutan hebat. Degupnya kencang,semakin kencang ketika jarakku dengan Indra semakin dekat.
Kekhawatiranku beralasan. Darah segar banyak mengalir dari tubuh Indra. Dalam sekejap ku berlutut mendekap Indra. Baju putihku seketika berubah seperti kain bendera Indonesia,merah darah dihiasi putih yang suci.
“Allah.....ku mohon pertolongan-Mu pada Indraku...!”,ucapku lirih.
Matanya menatapku. Sejuk sekali. Sudah lima hari Indra terbaring di RS.Ibnu Sina. Ku ucap tahmid atas berkah-Nya pada Indra. Meski dihalangi sebuah kaca tebal,tetap saja senyuman Indra membuat bertambah indah wajahnya. Tapi...ku tak tahu apa reaksinya ketika tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
wah kasihan nih sahabatnya sahabatnya, moga cepat sehat nih
Salam,
terima kasih kerana sudi singgah ke blog saya :)
salam kenal mas
Posting Komentar